Selasa, 16 Juni 2015

Kebudayaan Bacson-Hoabinh dan Kebudayaan Dongso

1.    Kebudayaan Bacson-Hoabinh

Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM.  Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ± 1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat, segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang. Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.

Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur (utara). Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil.  Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. VanStein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera. 


2. Kebudayaan Dongson

Kebudayaan perunggu Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson, menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah Tonkin penyelidikan menunjukkan bahwa di sana pusatnya kebudayaan perunggu Asia Tenggara. Di sana ditemukan segala macam alat-alat perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu. Di sana juga ditemukan bejana yang serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura. Di Tonkin lengkap terdapat keseluruhan kebudayaan perunggu.
Sudah kita ketahui bahwa hiasan-hiasan pada nekara menunjukkan dengan nyata akan adanya hubungan yang erat antara negeri kita dengan daratan Asia. Maka tak dapat disangsikan lagi bahwa kebudayaan logam Indonesia memang termasuk satu golongan dengan kebudayaan logam Indonesia memang termasuk satu golongan dengan kebudayan logam Asia yang berpusat di Dongson itu. Dari pangkal inilah datangnya gelombang kebudayaan logam ke negeri kita melalui jalan barat lewat Malaysia Barat. Menurut para sarjana pembawa kebudayaan baru ini sebangsa dengan pembawa kebudayan kapak persegi, ialah bangsa Austronesia. Dengan demikian maka nenek moyang bangsa Indonesia datang kemari dalam dua ambalan:
1.      Dalam jaman neolithikum, sejak kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi
2.      Dalam jaman perunggu, sejak kurang lebih 500 tahun sebelum masehi

Mengenai umur kebudayaan Dongson itu, mula-mula Victor Goloubew (penyelidik pertama) berpendapat bahwa kebudayaan perunggu itu berkembangnya sejak abad pertama sebelum Masehi. Pendapatnya berdasarkan atas penemuan berbagai mata uang Tionghoa jaman Han (sekitar tahun 100 sebelum Masehi) yang didapatkan di kuburan-kuburan di Dongson. Anehnya, di situ juga ditemukan nekara-nekara tiruan kecil, dari perunggu pula.  Rupa-rupanya nekara-nekara kecil itu diberikan kepada yang meninggal sebagai bawaan ke akhirat. Tentu saja nekara tiruan itu dibuatnya lama sesudah nekara yang betul betul ada. Kalau nekara bekal mayat itu sama umurnya dengan mata uang Han bekal mayat pula, maka nekara yang betul-betul harus sudah ada sebelum tahun 100 sebelum Masehi. Maka menurut Von Heine Geldern kebudayaan Dongson itu paling muda berasal dari 300 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya diperkuat lagi oleh hasil penyelidikannya atas hiasan-hiasan nekara Dongson yang ternyata tidak ada persamaannya dengan hiasan-hiasan Tiongkok dari jaman Han itu.

Kerajaan Mataram Kuno dan Kediri

KERAJAAN MATARAM KUNO

SEJARAH BERDIRINYA

Berdiri sekitar abad ke 8

Pendiri : Sanjaya

Letak :

Pada awal berdiri : Mataram (dekat Yogyakarta)

Pemerintahan Rakai Pikatan : Mamrati (daerah Kedu)

Pemerintahan Dyah Balitung : Poh Pitu (sekitar Kedu)

Pemerintahan Dyah Wama : Mataram

Pemerintahan Mpu Sindok : Daha, Jawa Timur

Latar belakang berdiri : berdasarkan Carita Parahyangan yang berasal dari abad 16, Ratu Sima yang merupakan raja di Kalingga memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya. Setelah Ratu Sima meninggal, Sanjaya menggantikan buyutnya menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Matara, dan kemudian mendirikan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

PEMERINTAHAN DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT
Wilayah kekuasaan : meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
Raja-raja yang pernah memerintah :
Sanjaya
Rakai Panangkaran (awal berkuasanya Wangsa Sailendra)
Rakai Panunggalan/ Dharanindra
Rakai Warak/ Samaragrawira
Rakai Garung/ Samaratungga
Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani (kebangkitan Dinasti Sanjaya)
Rakai Kayuwangi
Rakai Watuhumalang
Rakai Watukura Dyah Balitung
Mpu Daksa
Rakai Layang Dyah Tulodong
Rakai Sumba Dyah Wawa
Mpu Sindok (awal periode Dinasti Isyana)
Sri Lokapala, suami Sri Isanatunggawijaya
Makuthawangsawardhana
Dharmawangsa Teguh
Airlangga
KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT
Agama yang dianut : Hindu-Buddha
Kehidupan sosial masyarakat di kerajaan Mataram Kuno sudah teratur, terlihat dari sikap gotong royong mereka saat membangun candi Borobudur. Sikap toleran diantara masyarakat sangat baik.
Ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian, peternakan, perdagangan.
PENINGGALAN-PENINGGALAN
Prasasti Canggal, Kalasan, Mantyasih, Klurak, Kedu
Candi Kalasan, Plaosan, Prambanan, Sewu, Mendut, Pawon, Sambisari, Sari, Kedulan, Morangan, Ijo, Barong, Sojiwan, Borobudur, Dieng, Gedongsongo
SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN
Adanya permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana diserbu oleh Aji Wurari yang diperkirakan merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa itu, Dharmawangsa tewas. Kemudian tahta digantikan oleh Airlangga. Pada masa Airlangga, daerah-daerah yang pernah dikuasai Dharmawangsa berhasil disatukan kembali. Hubungan dengan Sriwijaya juga berhasil dipulihkan.
Ibukota kerajaan dipindah dari Daha ke Kahuripan
Airlangga mengundurkan diri, lalu hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu
Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi 2 kerajaan yaitu Panjalu dan Jenggala
KERAJAAN KEDIRI
SEJARAH BERDIRINYA
Berdiri sekitar abad ke 11
Pendiri : Samarawijaya
Letak : Kediri, Jawa Timur
Latar belakang berdiri : Airlangga membagi kerajaan menjadi 2 yaitu Panjalu (Sri Samarawijaya) dan Jenggala (Mapanji Garasakan). Pada awalnya perang saudara di menangkan Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian berdirilah kerajaan Panjalu yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Kediri.
PEMERINTAHAN DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT
Wilayah Kekuasaan : Malang, Surabaya, Rembang, Pasuruan, Kediri, Madiun
Raja yang pernah memerintah :
1.Samarawijaya
2.Jayaswara/ Jayawangsa
3.Bameswara
4.Jayabhaya
5.Sarweswara
6.Aryeswara
7.Sri gandhra
8.Dandang Gendis/ Kertajaya
KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT
Rakyat hidup teratur, makmur dan kesadaran tentang pajak sudah tinggi.
Rakyat hidup pada sektor pertanian dan perdagangan
Dibidang kebudayaan, karya Sastra yang terkenal adalah : Baratayudha (Mpu Sedah dan Panuluh), Kresnayana (Mpu Triguna), Smaradahana (Mpu Darmaja), Lubdaka (Mpu Tanakung)
PENINGGALAN-PENINGGALAN
Candi Penataran, Gurah, Tondowongso
Arca Buddha Vajrasattva
Prasasti Kamulan, Galunggung, Jaring, Tuban, Panumbangan, Talan,
PENYEBAB KERUNTUHAN
Raja terakhir yaitu Kertajaya bersikap sombong dan mengurangi hak-hak kaum Brahmana, sehingga kaum Brahmana meminta bantuan kepada Ken Arok untuk melawan Kertajaya. Pada pertempuran itu Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya
 

 

Senin, 15 Juni 2015

Analisis Tari Banyumasan



TARI EBEG

1.    Sejarah
Ebeg adalah tarian Khas Banyumas yang menggambarkan latihan perang prajurit Mataram ketika melawan Belanda. Latihan perang yang dilakukan prajurit Kasunanan setiap Sabtu itu kemudian dimodifikasi oleh seniman untuk mengobarkan semangat perlawan rakyat. Tarian yang demikian agresif dan gagah itu dipentaskan untuk membumbungkan optimisme rakyat supaya tetap semangat melawan penjajah.
Stigma kuno yang dilekatkan pada tari ebeg dapat diidentifikasi karena tiga hal. Pertama, sejak dicipta pada masa kekuasaan Mataram dan diwariskan hingga saat ini tari ebeg tidak mengalami perubahan yang bermakna. Kedua, nuansa magis yang dibangun dengan menghadirkan roh saat wuru’ mengesankan lekatnya animisme yang dianut masyarakat Jawa kuno. Ketiga, semangat memerangi penjajah sudah tidak relevan dengan semangat juang saat ini.
Ebeg adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah (Purbalingga,Banyumas,cilacap,kebumen). Pada daerah lain kesenian ini dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur). Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan.
Diperkirakan kesenian Ebeg ini sudah ada sejak zaman purba tepatnya ketika manusia mulai menganut aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk in trance (kesurupan) atau wuru. Bentuk-bentuk seperti ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
Selain itu Ebeg dianggap sebagai seni budaya yang benar-benar asli dari Jawa Banyumasan mengingat didalamnya sama sekali tidak ada pengaruh dari budaya lain. Berbeda dengan Wayang yang merupakan apresiasi budaya Hindu India dengan berbagai tokoh-tokohnya. Ebeg sama sekali tidak menceritakan tokoh tertentu dan tidak terpengaruhi agama tertentu, baik Hindu maupun Islam. Bahkan dalam lagu-lagunya justru banyak menceritakan tentang kehidupan masyarakat tradisional, terkadang berisi pantun, wejangan hidup dan menceritakan tentang kesenian Ebeg itu sendiri. Lagu yang dinyanyikan dalam pertunjukan Ebeg hampir keseluruhan menggunakan bahasa Jawa Banyumasan atau biasa disebut Ngapak lengkap dengan logat khasnya. Jarang ada lagu Ebeg yang menggunakan lirik bahasa Jawa Mataraman dan bahasa selain Banyumasan. Beberapa contoh lagu-lagu dalam Ebeg yang sering dinyanyikan adalah Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong Purbalingga dan lain-lain.
2.   Atribut Perlengkapan Ebeg
Atribut yang dikenakan Penarinya berupa celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam(sebagian ada yang tidak berkaca mata), mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan.
Jumlah penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua orang berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan penthul-tembem memakai topeng.
3.   Peralatan Pengiring
Peralatan untuk Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda,jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,( crebonan), dan lain-lain.
4.   Atraksi
Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana dikenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah Mendhem (in trance). Pemain akan kesurupan dan mulai melakukan atraksi-atraksi unik. Bentuk atraksi tersebut seperti halnya: makan Beling atau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak seperti monyet, ular, dan lain-lain. Atraksi in trance ini hanya dimainkan oleh pemain yang memiliki "indang" atau "pembantu". Masing-masing pemain memiliki varian indang yang berbeda. Di antaranya indang kethek, yang mengantarkan pemain pada kondisi in trance meniru perilaku monyet. Indang jaran, indang mayid, indang macan dan lain-lain.

5.   Kesurupan
Salah satu kewajiban dalam pementasan Ebeg adalah ketersediaan sesaji atau menyan. Sesaji digunakan untuk persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus disekitar agar mau mendukung pementasan. Efeknya para pemain ebeg akan mengalami trans atau kerasukan yang dalam bahasa Banyumas disebut mendem karena dirasuki makhluk halus. Disaat inilah para pemain ebeg biasa memakan berbagai benda yang tidak lazim dimakan seperti pecahan kaca (beling), bunga-bunga sesaji, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, memakan dhedek (katul), bara api, dan lain-lain. Keadaan mendem ini menunjukkan bahwa pemain ebeg sedang menunjukan bahwa dirinya adalah Satria yang kuat. Pada akhir laga, pemain yang kerasukan akan disembuhkan oleh pemimpin grup Ebeg yang biasanya adalah seorang tetua adat dan disebut dengan istilah Penimbul.
Perlu diketahui bahwa tidak hanya pemain Ebeg saja yang bisa kesurupan. Sering kali para penonton juga ikut mendem sehingga semakin memeriahkan pementasan Ebeg. Pada saat pemain dan beberapa pemonton sudah kesurupan, pagelaran menjadi sedikit lebih kacau dan brutal. Namun justru inilah yang menjadi ciri khas Ebeg Banyumasan dibandingkan seni kuda lumping dari daerah lain. Terkadang orang yang kesurupan menari di depan pemain musik dan meminta dimainkan musik yang bagus. Jika musik berhenti maka pemain akan berhenti menari.
6.   Grup Ebeg

Dalam sebuah grup Ebeg setidaknya ada cukup banyak pemain, terutama untuk penunggang kuda lumping. Selain itu dalam sebuah pertunjukan Ebeg ada satu barongan, yakni sejenis topeng yang menggambarkan wajah macan (Harimau Jawa) dan memiliki kain panjang ke belakang sebagai gambaran tubuhnya. Barongan seperti Barongsai dalam budaya Tiongkok karena mulutnya bisa menganga. Hanya saja Barongan sering di cat dengan warna gelap.
Selain kelompok penunggang kuda lumping dan Barongan, ada dua pemain yang menggunakan topeng bernama Penthul dan Tembem. Dalam masyarakat kedua pemain yang menggunakan topeng ini dikenal dengan nama Cepet. Penthul adalah topeng yang memiliki hidung panjang dan biasanya berwarna putih. Sedangkan Tembem memiliki wajah lebih menyeramkan dan berwarna hitam.
7.   Perkembangan Tari Ebeg

Kesenian ebeg adalah kesenian yang sangat terkenal di daerah Banyumas dan Jawa Tengah pada umumnya, kesenian ebeg atau kuda lumping atau jathilan ini memang sebuah kebudayaan yang perlu dirawat dan dijaga kelestariannya. Beberapa tahun belakangan ini ebeg sudah sangat jarang ditampilkan di acara-acara seperti hajatan di kampung-kampung . Keberadaannya seperti tertelan jaman.
Tapi beberapa waktu belakangan ini, kesenian yang terkenal dengan atraksi pemanggilan arwah atau lebih dikenal dengan nama ‘indang’ ini kembali marak.
gbr.3
Gambar 3 Penonton yang Mengalami”wuru” Kesurupan

kemunculannya kembali seni ebeg ini memberikan sebuah fenomena baru, terlihat seni ebeg sudah sedikit kehilangan gregetnya  karena sekarang banyak dan sering terjadi para penonton yang ‘wuru’ atau kesurupan indang.
Bahkan banyaknya penonton yang ‘wuru’ membuat atraksi kesenian ini menjadi tidak menghibur lagi, karna kebanyakan dari mereka yang ‘wuru’ adalah penonton yang kebanyakan berusia remaja berkisar belasan tahun.
Kebanyakan dari mereka memang memiliki indang atau dengan kata lain mereka dapat dirasuki oleh arwah,yang membuat mereka mudah sekali ‘wuru’ dan kerasukan indang.
Kalau dulu ‘indang’ hanya dimiliki oleh mereka para pemain ebeg yang memang sebelumnya melakukan ritual dan rialat atau bertapa untuk dapat memiliki indang. Tapi sekarang fenomena yang terjadi adalah maraknya para remaja belasan tahun yang memiliki indang,dan biasanya mereka memang bukan pemain ebeg resmi. Namun  hanya sebatas indang-indang  ringan seperti indang Baladewaan,yaitu indang yang membuat orang yang dirasuki menjadi luwes menari.

Akibat perkembangan budaya di Banyumas dan orentasi suatu seni pertunjukan juga yang dalam tahap awal merupakan sarana ritual telah bergesear pada bisnis seni pertunjukan, pembenahan dalam Ebeg pun segera dilakukan. Penataan pada Ebeg yang dapat meliputi bentuk iringan, penghalusan gerak tari, kostum ataupun propertinya banyak dilakukan oleh seniman Banyumas.
Ebeg biasanya dipentaskan pada acara hajatan baik acara khitanan maupun pernikahan. Selain itu pada awal Sura atau tahun baru Jawa, Ebeg juga sering dipentaskan diberbagai daerah Banyumas, Cilacap, Kroya, Kebumen, Purbalingga dan Banjarnegara. Masih ada beberapa perkampungan yang masih sering mengadakan pertunjukan Ebeg di wilayah karisidenan Banyumas seperti Banjarwaru, Adipala, Pesanggrahan, Bajing, Jepara, Somagede, Wangon, Ajibarang, Sumpiuh, Padamara, Kebasen, Jatilawang, Binorong, Jetis, Sempor Gombong, dan lain-lain.