Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari
tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini
berlangsung pada kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya
menggunakan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu
tetapi pada tahun 600 SM mengalami perubahan dalam bentuk batu-batu yang
menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu
kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan
batu kali yang berukuran ± 1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian
yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti
lonjong, segi empat, segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai
bentuk berpinggang. Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia
dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan
Bacson-Hoabinh ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.
Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan
perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan
timur (utara). Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di
pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang
datang kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan
dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya
Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras
Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan
bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras Papua Melanesoid
sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak
dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. VanStein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. VanStein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
2. Kebudayaan Dongson
Kebudayaan perunggu Asia Tenggara biasa dinamakan
kebudayaan Dongson, menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah Tonkin
penyelidikan menunjukkan bahwa di sana pusatnya kebudayaan perunggu Asia
Tenggara. Di sana ditemukan segala macam alat-alat perunggu dan nekara,
alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu. Di sana juga ditemukan
bejana yang serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura. Di Tonkin
lengkap terdapat keseluruhan kebudayaan perunggu.
Sudah kita
ketahui bahwa hiasan-hiasan pada nekara menunjukkan dengan nyata akan adanya
hubungan yang erat antara negeri kita dengan daratan Asia. Maka tak dapat
disangsikan lagi bahwa kebudayaan logam Indonesia memang termasuk satu golongan
dengan kebudayaan logam Indonesia memang termasuk satu golongan dengan
kebudayan logam Asia yang berpusat di Dongson itu. Dari pangkal inilah
datangnya gelombang kebudayaan logam ke negeri kita melalui jalan barat lewat
Malaysia Barat. Menurut para sarjana pembawa kebudayaan baru ini sebangsa
dengan pembawa kebudayan kapak persegi, ialah bangsa Austronesia. Dengan
demikian maka nenek moyang bangsa Indonesia datang kemari dalam dua ambalan:
1. Dalam jaman
neolithikum, sejak kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi
2. Dalam jaman perunggu,
sejak kurang lebih 500 tahun sebelum masehi
Mengenai
umur kebudayaan Dongson itu, mula-mula Victor Goloubew (penyelidik pertama)
berpendapat bahwa kebudayaan perunggu itu berkembangnya sejak abad pertama
sebelum Masehi. Pendapatnya berdasarkan atas penemuan berbagai mata uang
Tionghoa jaman Han (sekitar tahun 100 sebelum Masehi) yang didapatkan di
kuburan-kuburan di Dongson. Anehnya, di situ juga ditemukan nekara-nekara
tiruan kecil, dari perunggu pula. Rupa-rupanya nekara-nekara kecil itu
diberikan kepada yang meninggal sebagai bawaan ke akhirat. Tentu saja nekara
tiruan itu dibuatnya lama sesudah nekara yang betul betul ada. Kalau nekara
bekal mayat itu sama umurnya dengan mata uang Han bekal mayat pula, maka nekara
yang betul-betul harus sudah ada sebelum tahun 100 sebelum Masehi. Maka menurut
Von Heine Geldern kebudayaan Dongson itu paling muda berasal dari 300 tahun sebelum
Masehi. Pendapatnya diperkuat lagi oleh hasil penyelidikannya atas
hiasan-hiasan nekara Dongson yang ternyata tidak ada persamaannya dengan
hiasan-hiasan Tiongkok dari jaman Han itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar