TARI EBEG1. SejarahEbeg adalah tarian Khas Banyumas yang menggambarkan latihan perang prajurit Mataram ketika melawan Belanda. Latihan perang yang dilakukan prajurit Kasunanan setiap Sabtu itu kemudian dimodifikasi oleh seniman untuk mengobarkan semangat perlawan rakyat. Tarian yang demikian agresif dan gagah itu dipentaskan untuk membumbungkan optimisme rakyat supaya tetap semangat melawan penjajah.Stigma kuno yang dilekatkan pada tari ebeg dapat diidentifikasi karena tiga hal. Pertama, sejak dicipta pada masa kekuasaan Mataram dan diwariskan hingga saat ini tari ebeg tidak mengalami perubahan yang bermakna. Kedua, nuansa magis yang dibangun dengan menghadirkan roh saat wuru’ mengesankan lekatnya animisme yang dianut masyarakat Jawa kuno. Ketiga, semangat memerangi penjajah sudah tidak relevan dengan semangat juang saat ini.Ebeg adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah (Purbalingga,Banyumas,cilacap,kebumen). Pada daerah lain kesenian ini dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur). Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan.Diperkirakan kesenian Ebeg ini sudah ada sejak zaman purba tepatnya ketika manusia mulai menganut aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk in trance (kesurupan) atau wuru. Bentuk-bentuk seperti ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.Selain itu Ebeg dianggap sebagai seni budaya yang benar-benar asli dari Jawa Banyumasan mengingat didalamnya sama sekali tidak ada pengaruh dari budaya lain. Berbeda dengan Wayang yang merupakan apresiasi budaya Hindu India dengan berbagai tokoh-tokohnya. Ebeg sama sekali tidak menceritakan tokoh tertentu dan tidak terpengaruhi agama tertentu, baik Hindu maupun Islam. Bahkan dalam lagu-lagunya justru banyak menceritakan tentang kehidupan masyarakat tradisional, terkadang berisi pantun, wejangan hidup dan menceritakan tentang kesenian Ebeg itu sendiri. Lagu yang dinyanyikan dalam pertunjukan Ebeg hampir keseluruhan menggunakan bahasa Jawa Banyumasan atau biasa disebut Ngapak lengkap dengan logat khasnya. Jarang ada lagu Ebeg yang menggunakan lirik bahasa Jawa Mataraman dan bahasa selain Banyumasan. Beberapa contoh lagu-lagu dalam Ebeg yang sering dinyanyikan adalah Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong Purbalingga dan lain-lain.2. Atribut Perlengkapan EbegAtribut yang dikenakan Penarinya berupa celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam(sebagian ada yang tidak berkaca mata), mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan.Jumlah penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua orang berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan penthul-tembem memakai topeng.3. Peralatan PengiringPeralatan untuk Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda,jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,( crebonan), dan lain-lain.4. AtraksiDi dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana dikenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah Mendhem (in trance). Pemain akan kesurupan dan mulai melakukan atraksi-atraksi unik. Bentuk atraksi tersebut seperti halnya: makan Beling atau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak seperti monyet, ular, dan lain-lain. Atraksi in trance ini hanya dimainkan oleh pemain yang memiliki "indang" atau "pembantu". Masing-masing pemain memiliki varian indang yang berbeda. Di antaranya indang kethek, yang mengantarkan pemain pada kondisi in trance meniru perilaku monyet. Indang jaran, indang mayid, indang macan dan lain-lain.5. KesurupanSalah satu kewajiban dalam pementasan Ebeg adalah ketersediaan sesaji atau menyan. Sesaji digunakan untuk persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus disekitar agar mau mendukung pementasan. Efeknya para pemain ebeg akan mengalami trans atau kerasukan yang dalam bahasa Banyumas disebut mendem karena dirasuki makhluk halus. Disaat inilah para pemain ebeg biasa memakan berbagai benda yang tidak lazim dimakan seperti pecahan kaca (beling), bunga-bunga sesaji, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, memakan dhedek (katul), bara api, dan lain-lain. Keadaan mendem ini menunjukkan bahwa pemain ebeg sedang menunjukan bahwa dirinya adalah Satria yang kuat. Pada akhir laga, pemain yang kerasukan akan disembuhkan oleh pemimpin grup Ebeg yang biasanya adalah seorang tetua adat dan disebut dengan istilah Penimbul.Perlu diketahui bahwa tidak hanya pemain Ebeg saja yang bisa kesurupan. Sering kali para penonton juga ikut mendem sehingga semakin memeriahkan pementasan Ebeg. Pada saat pemain dan beberapa pemonton sudah kesurupan, pagelaran menjadi sedikit lebih kacau dan brutal. Namun justru inilah yang menjadi ciri khas Ebeg Banyumasan dibandingkan seni kuda lumping dari daerah lain. Terkadang orang yang kesurupan menari di depan pemain musik dan meminta dimainkan musik yang bagus. Jika musik berhenti maka pemain akan berhenti menari.6. Grup EbegDalam sebuah grup Ebeg setidaknya ada cukup banyak pemain, terutama untuk penunggang kuda lumping. Selain itu dalam sebuah pertunjukan Ebeg ada satu barongan, yakni sejenis topeng yang menggambarkan wajah macan (Harimau Jawa) dan memiliki kain panjang ke belakang sebagai gambaran tubuhnya. Barongan seperti Barongsai dalam budaya Tiongkok karena mulutnya bisa menganga. Hanya saja Barongan sering di cat dengan warna gelap.Selain kelompok penunggang kuda lumping dan Barongan, ada dua pemain yang menggunakan topeng bernama Penthul dan Tembem. Dalam masyarakat kedua pemain yang menggunakan topeng ini dikenal dengan nama Cepet. Penthul adalah topeng yang memiliki hidung panjang dan biasanya berwarna putih. Sedangkan Tembem memiliki wajah lebih menyeramkan dan berwarna hitam.7. Perkembangan Tari EbegKesenian ebeg adalah kesenian yang sangat terkenal di daerah Banyumas dan Jawa Tengah pada umumnya, kesenian ebeg atau kuda lumping atau jathilan ini memang sebuah kebudayaan yang perlu dirawat dan dijaga kelestariannya. Beberapa tahun belakangan ini ebeg sudah sangat jarang ditampilkan di acara-acara seperti hajatan di kampung-kampung . Keberadaannya seperti tertelan jaman.Tapi beberapa waktu belakangan ini, kesenian yang terkenal dengan atraksi pemanggilan arwah atau lebih dikenal dengan nama ‘indang’ ini kembali marak.gbr.3Gambar 3 Penonton yang Mengalami”wuru” Kesurupankemunculannya kembali seni ebeg ini memberikan sebuah fenomena baru, terlihat seni ebeg sudah sedikit kehilangan gregetnya karena sekarang banyak dan sering terjadi para penonton yang ‘wuru’ atau kesurupan indang.Bahkan banyaknya penonton yang ‘wuru’ membuat atraksi kesenian ini menjadi tidak menghibur lagi, karna kebanyakan dari mereka yang ‘wuru’ adalah penonton yang kebanyakan berusia remaja berkisar belasan tahun.Kebanyakan dari mereka memang memiliki indang atau dengan kata lain mereka dapat dirasuki oleh arwah,yang membuat mereka mudah sekali ‘wuru’ dan kerasukan indang.Kalau dulu ‘indang’ hanya dimiliki oleh mereka para pemain ebeg yang memang sebelumnya melakukan ritual dan rialat atau bertapa untuk dapat memiliki indang. Tapi sekarang fenomena yang terjadi adalah maraknya para remaja belasan tahun yang memiliki indang,dan biasanya mereka memang bukan pemain ebeg resmi. Namun hanya sebatas indang-indang ringan seperti indang Baladewaan,yaitu indang yang membuat orang yang dirasuki menjadi luwes menari.Akibat perkembangan budaya di Banyumas dan orentasi suatu seni pertunjukan juga yang dalam tahap awal merupakan sarana ritual telah bergesear pada bisnis seni pertunjukan, pembenahan dalam Ebeg pun segera dilakukan. Penataan pada Ebeg yang dapat meliputi bentuk iringan, penghalusan gerak tari, kostum ataupun propertinya banyak dilakukan oleh seniman Banyumas.Ebeg biasanya dipentaskan pada acara hajatan baik acara khitanan maupun pernikahan. Selain itu pada awal Sura atau tahun baru Jawa, Ebeg juga sering dipentaskan diberbagai daerah Banyumas, Cilacap, Kroya, Kebumen, Purbalingga dan Banjarnegara. Masih ada beberapa perkampungan yang masih sering mengadakan pertunjukan Ebeg di wilayah karisidenan Banyumas seperti Banjarwaru, Adipala, Pesanggrahan, Bajing, Jepara, Somagede, Wangon, Ajibarang, Sumpiuh, Padamara, Kebasen, Jatilawang, Binorong, Jetis, Sempor Gombong, dan lain-lain.
Blog ini berisi tentang tugas-tugas yang sudah pernah saya kerjakan. Selain itu saya juga memposting hal-hal dan peristiwa yang menarik selama saya bersekolah! Selama Membaca :)
Senin, 15 Juni 2015
Analisis Tari Banyumasan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Amii, makasih banyak yaa infonyaa :)
BalasHapussukses terus!